Politisi Papua, Kepemimpinan
Politiknya
Oleh : Maiton Gurik,S.I.Kom
MELIHAT dari perkembangan keadaan politik Papua saat ini,
tampak gejala ketidakadaan pemimpin politik. Pemimpin yang dibutuhkan adalah
yang mampu mengkonsolidasikan, mengorientasikan, dan mengartikulasikan arah
politik yang hendak dituju/dicapai. Pemimpin politik Papua itu bisa menjadi
representasi kehendak politik dan pemersatu dari kelompok-kelompok politik yang
ada di Papua. Selain itu ada yang bisa menjadi elit pemerintah, baik di daerah
maupun pusat, untuk bernegosiasi dan kesepakatan politik dengan gagasan-gagasan
baru.
Oleh karena itu, pemimpin politik "ala big men"
(pria berwibawa) yang berdiri secara tunggal, seperti yang dikenal secara
tradisional oleh suku-suku di daerah pegunungan, tidak relevan lagi menghadapi
tantangan baru di Papua. Begitu pula dengan tipe kepemimpinan cara (raja-raja)
"feodal" yang dikenal oleh suku di wilayah pantai selatan di bagian
barat dan pantai utara, Papua.
Terobosan dan harapan baru di Papua akan bisa berkecambah
jika tersedia alamat bagi pemerintah pusat bernegosiasi dan ada pihak di Papua
yang menjaga proses dan hasil negosiasi itu. Artinya, pemimpin politik adalah
negosiator Papua yang legitimasi nya kuat dan berpikir dalam ruang spasial regional
serta geopolitik nasional dan internasional.
Negara harus memberikan ruang bagi pemimpin- pemimpin
politik di Papua untuk tumbuh dan berkonsolidasi. Sebab, situasi tanpa
pemimpin, seperti yang terjadi saat ini, dalam jangka panjang jauh lebih menjulitkan
dan merugikan masyarakat Papua.
Idealnya, bagi seorang pemimpin politik itu dituntut
untuk mampu memanfaatkan berbagai sumber daya politik dalam rangka optimalisasi
kepentingan dan tujuan-tujuan politiknya. Oleh karena itu, secara internal
maupun eksternal, seorang pemimpin politik dituntut untuk mampu berkomunikasi
atau mengkomunikasikan kepentingan dan tujuan politik tersebut secara tepat dan
efektif.
Salah satu hal yang harus dimiliki oleh aktivis politik
adalah kemampuan untuk meyakinkan pihak lain, sebagai bagian dari komunikasi
politik secara luas. Politik itu memang seni. Seni meyakinkan atau mempersuasi
pihak lain, amat terkait dengan seberapa jauh cara dan teknik lobi politik
dimiliki atau diimplementasikan secara tepat dan efisien. Tanpa adanya
kemampuan lobi politik secara profesional dan kualitas, maka sebuah pemerintah
atau para aktivis politik yang memiliki kepentingan politik tertentu, akan
terjebak pada suatu kondisi stagnasi bahkan marjinalisasi politik.
Politisi Bukan Profesi?
Konteks ini, politisi memang bukan profesi. Tetapi ia
adalah orang yang terpanggil untuk berpolitik, dan politiknya adalah untuk
kesejahteraan. Idealnya begitu. Tapi sayang kita kadang keliru melihat politik
sebagai sesuatu amat pragmatis, dimana politisi sekedar dimaknai sebagai semata
pekerjaan-pekerjaan dibidang politik!
Dengan demikian apa yang dikatakan, Deliar Noer bahwa,
"politik adalah segala aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan
kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi, jalan mengubah atau
mempertahankan, suatu macam bentuk susunan masyarakat". Makanya, begitu
keran keterbukaan politik terbuka, berlomba-lomba orang "mencari
pekerjaan" sebagai politisi. Ironisnya bukan panggilan mulia yang menjadi
motif penggerak, tetapi lebih ke motif pragmatis, sampai -sampai pernah ada
politisi yang berujar "kalau mau kaya, jadilah politisi!" Betapa
berpolitik telah diredukasi semata-mata untuk mengejar kekayaan dan
perlindungan diri.
Menjadi politisi seharusnya didasari
keterpanggilan. Itulah yang menyebabkan seorang pengusaha, seperti Ahok
berkiprah didunia politik. Juga Megawati yang ibu rumah tangga, Wiranto, SBY
atau Prabowo yang tentara. Adburrahman wahid yang aktivis ormas dan LSM, hingga
Jussuf Kalla yang saudagar. Kalau para politisi berlatar belakang berbeda-beda
itu berada dalam puncak kekuasaan, perilaku dan kebijaksanaan lah yang akan
dinilai masyarakat.
Politisi itu pengabdi. Artinya, dari sini kita harus
diakui, secara umum ada keunggulan sarjana dibanding dengan yang bukan, tetapi
bukan berarti menghadapkan kepintaran versus kebodohan. Namun, hanya karena
berpolitik merupakan hak setiap orang (warga negara). Jadi, dunia politik ialah
dunia yang terbuka bagi berbagai macam profesi, mengingat politik adalah
panggilan. Politisi itu bukan profesi yang orientasinya menumpuk uang dan
kekuasaan. Menjadi politisi yang "berkuasa" adalah tujuan antara
untuk mensejahtrakan rakyat.
Tetapi kalau
politisi yang sedang berkuasa, maka ia harus mampu memainkan peran yang baik
dalam fungsi demokrasi yang disebut "check and balances" (saling
mengawasi). Memang tujuan politik adalah kekuasaan, tetapi ingat kekuasaan
adalah "tujuan antara" saja. Kita kwatir kemudian kecenderungan yang
berkembang adalah menjadikan kekuasaan sebagai tujuan utama. Partai lantas
menjadi sarang para oligarkhis, yang secara korporatis menjadi mesin pelindung
para penyamun dan mengembangbiak para nepotis.
Akhir
kata penulis pinjam dari kutipan Lao Tzu, pernah berkata "Seorang pemimpin
yang terbaik adalah ketika orang hampir tidak tahu dia ada, saat pekerjaannya
dilakukan, tujuannya pun terpenuhi, ia akan mengatakan: kita melakukan nya
bersama-sama."
Harapan itu pun pada Pilgub Papua 2018 mendatang, semoga
masyarakat memilih pemimpin politik yang mampu mengabdi kepada masyarakat nya
dan bukan sebatas pemimpin politik biasa atau politisi profesi sebagai tujuan
personal semata lalu terabaikan tujuan politiknya sebagai suatu pekerjaan
panggilan. Begitu Semoga!
Kampus UNAS Jakarta, 01 Juli 2017