(Oleh: Maiton Gurik)
Penulis adalah Mahasiswa Asal Kab. Lanny Jaya-Papua
dan sedang menempuh Studi S-2 Ilmu Politik di Universitas Nasional, Jakarta.
Menjelang
pilkada serentak, banyak kandidat berikrar untuk berkompetensi secara adil.
Mereka siap menang dan siap kalah. Ini bukti bahwa demokrasi sudah dipahami dan
meresap ke dalam denyut jantung dinamika politik masyarakat kita. Semangat
semacam ini harus dicontoh dan dipraktikkan oleh siapa saja. Bukan hanya
kandidat atau elit politik yang akan bertarung dalam pilkada melainkan juga
pendukungnya.
Dimasa yang
lalu, kita sering menyaksikkan kekisruhan yang terjadi pasca-pilkada. Hal itu
terjadi lantaran para kandidat tidak memilik kesiapan ‘mental’ yang cukup untuk
memasuki pangung demokrasi dan mengikuti aturannya, termasuk menyiapkan mental
siap menang dan siap kalah, begitu juga dengan pendukungnya. Mari kita runut
secara sepintas kasus – kasus tersebut sebagai bahan pembelajaran.
Pada tahun
2012, kasus konflik pilkada Kabupaten Tolikara membuat banyak korban jiwa yang
tak terhitung. Kabupaten Puncak Papua di tahun sama, juga terjadi konflik
pilkada dengan korban masyarakat yang tidak kalah jumlahnya.
Dan masih
banyak kasus konflik pilkada yang saya tidak sebut satu persatu. Entalah,
baik konflik fisik bahkan adminitrasi tak ujung berakhir bahkan sampai bawah
kepada MK sebagai tempat terakhir mendamaikan konflik pilkada.
Konflik
pilkada, Papua khususnya – membuat pemisah antara satu dengan yang lain. Hidup
tadinya kolektif telah pupus. Luka konflik pun sulit untuk disembuh. Yang ada
hanya kata ‘balas dendam”(moment pilkada berikutnya). Oh, Papua rupanya belum
merdeka. Demokrasi hilang di tangan elit Papua. Kapan berakhirnya. Siapa yang
akan mengakhirinya. Saya pun tidak tau. Entalah.
Kasus ini
memberi pelajaran kepada kita semua bahwa ikrar ‘ siap menag dan siap kalah’
itu hendaknya tidak dianggap remeh. Sebab, dampaknya sangat serius dalam
menimbulkan korban jiwa dan harta benda. Demokrasi memang ruang kebebasan.
Benar. Tapi itu saja tidak cukup. Dalam mempraktikan demokrasi harus dengan
etika politik. Yang didalamnya ada kewajiban, tanggungjawab dan sejenisnya.
Dalam konteks
ini, semangat siap menang dan siap kalah merupakan pelaksanaan dari kebebasan
positif. Artinya, pemenang lahir karena ada pihak yang mengakui kalah.Dengan
begitu roda pemerintahan terus berputar.
Kesuksesan
pilkada serentak tidak hanya tergantung pada pemerintah namun juga segenap warga
masyarakat. Ia, tentu saja pemerintah bertanggunjawab persiapan dan
pelaksanaanya. Sementara, setiap warga negara mengemban tanggungjawab moral
untuk ikut mengawal. Jalannya pilkada secara kondusif sekalian aktif dalam
pilkada ini.
Belajar dari
kekurangan dan kesalahan masa lalu, generasi ini sudah akrab dengan berbagai
artikulasi yang mendorong mereka untuk berpolitik secara lebih cerdas dan
cermat. Mereka akan bertarung secara sportif karena ada tujuan yang lebih besar
yaitu kesejahtraan rakyat. Yang juga menjadi tanggungjawab bersama (elit dan
rakyat). Mengakui pihak lain sebagai pemenang merupakan suatu kehormatan bagi
yang bersangkutan. Sebab kekalahan bukan suatu kehinaan.
Kalah dan
menang adalah hal yang biasa dalam setiap perlombaan. Karena itu disikapi dan
diterima secara santun dan wajar. Tidak mutlak-mutlakan. Hanya saja kemenangan
dan kekalahan dalam pilkada memang peristiwa yang bersifak publik, diketahui
oleh umum, sehingga disitu ada persoalan kehormatan dan harga diri.
Maka penting
sekali di sini, pendidikan sosial tentang kalah-menang ini harus ditinjau
ulang. Dalam budaya masyarakat kita modern ini, menang dan kalah itu diletakan
dalam kerangka dikotomi. Menang itu kejayaan, prestasi dan kemulihaan. Dan
sebaliknya kalah itu kebodohan, kerendahan, dan kehinaan bahkan caci-maki.
Akibatnya, elit berlomba-lomba hanya untuk menang dengan menghalalkan cara agar
tidak kalah. Bukannya kekalahan menjadi dorongan untuk bekerja lebih keras.
Kemenangan menjadi motivasi untuk berkarya lebih baik. Parah!
Tantangan
pertama bagi pemenang adalah menyikapi pihak yang kalah. Kemenangan tidak
identik dengan pesta pora, euforia dan merendahkan pihak yang kalah. Justru
melibatkan pihak yang kalah dalam kelompoknya. Sehingga, kemenangan itu menjadi
kemenangan bersama. Bahkan pihak yang kalah pun merasa dimenangkan. Ini namanya
baik hati dan tidak sombong!
Pilkada ini
ajang adu nasib dan peruntungan melainkan tempat untuk meneyaring pemimpin yang
berintegritas. Dengan begitu semua orang akan berpikir positif dan santun.
Berpartipasi secara proaktif, dan orientasi pada kualitas lebih dari sekedar
soal menang dan kalah.
Ahkirnya,
pilkada serentak ini harus benar-benar kita kawal bersama. Sehingga, proses
maupun hasilnya memiliki kualitas yang baik. Memang tidak mungkin sebuah proses
dan hasilnya memuaskan semua pihak. Entalah, tapi itu kepentingan yang lebih
besar, setiap orang dituntut memiliki kebesaran jiwa. Mari kita hindari sikap
odsolut terhadap kepentingan pribadi maupun kelompok. Pilkada ini bukan
segalanya. Pilkada hanya sebuah proses dalam kehidupan demokrasi.
Jika elit yang
tidak puas dengan hasil sekarang, maka anda boleh maju lagi dimusim Pemilu
mendatang. Pilkada ini seperti hanya dengan permainan, harus dibuat
menyenangkan-namanya juga pesta demokrasi bukan persta pora. Semoga!