Laman

selamat datang

SELAMAT DATANG MAHASISWA BARU DI KOTA SURABAYA TAHUN 2018

Senin, 13 Maret 2017

Menjinakan Korupsi,Politisi Biasa, Siapa Pelakunya?


Para politisi itu pandai berkata-kata, mereka mengambarkan situasi negara itu seperti ini dan itu, bahkan kadang mereka harus mencucurkan air mata di mimbar politik tentang sejumlah persoalan sosial dan ekonomi yang melilit rakyat. Namun, akhirnya tidak sedikitpun juga mereka yang harus mengenakan rompi oranye bertulisan “ Tahanan KPK” karena persoalan akhlak dan moralitas. Juba republik ini memang terus dirobek-robek oleh para anak bangsa ini sendiri, yang sedang berkuasa.

Para penegak hukumpun lemah moral dan harga dirinya, dan tidak puas akan kehidupan ekonominya, dengan muda masuk dalam perangkap mafia. Mereka menjadi kaki tangan bos mafia demi sejumlah imbalan ekonomi. Sebagai balasannya, mereka sangat loyal dan patuh. Mereka dapat melakukan apa saja untuk kepetingan bos mafia, termasuk berbohong kepada publik, menutupi-nutupi kejahatan, memutarbalikan logika hukum dan moralitas, bahkan membocorkan rahasia negara. Hal yang sama, pinjam dari kutipan Yongky Karman dalam buku Republik Galau, bahwa “korupsi memihak yang bayar, bukan yang benar, bukan yang sesuai prosedur”.

Kualitas para aktivis partai politik ternoda dengan kelakukan busuk mereka yang korup. Partai politik telah gagal mempersiapkan kader yang bermoral dan berintegritas. Pinjam dari kata Max Weber memberikan istilah politic as vocation (politik sebagai pekerjaan). Istilah ini sangat tepat digunakan untuk memotret para politisi yang menjadikan dunia politik sebagai arena bisnis semata untuk kepentingan mereka dan masa depan. Tidak tahu harga diri jika dia sebagai wakil rakyat yang mengurus nasib rakyat. Korup ditangkap malah tertawa, di wawancarai dan ditanya (gaya seperti orang biasa) sekalipun memakai pakain rupublik rompi oranye. Ini penyakit politisi busuk.

Korupsi seperti binatang liar yang memangsa orang jujur dalam suatu sistem korup. Pelakunya tidak hanya pegawai kecil yang terimpit kebutuhan, tetapi juga mereka yang serakah. Korupsi tak peduli jika bangsa masih tersandera kemiskinan. Ia menggerogoti kemampuan negara melindungi dan mensejahtrakan rakyat. Kasus tenaga kerja Indonesia yang selama puluhan tahun tanpa jaminan perlindungan terstruktur merupakan buah sistem pemerintahan yang korup. Rakyat kecil korban terparah dan terancam.

Pemberantasan korupsi di Indonesia seperti jinak-jinak merpati. Hukuman koruptor biasa saja. Mereka diperlakukan terhormat, tak mengenankan baju tahanan, memperoleh banyak kemudahan di penjara. Perang melawan korupsi sebagian besar hanya politik pecintraan penguasa dari realitas politik Indonesia baru. Betapa jalannya institusi penegakan hukum memasang iklan di surat kabar untuk meyakinkan publik bahwa reformasi birokrasi terjadi dilingkungannya.

Penguasa dan elit politik ambigu untuk memerangi korupsi habis-habisan. Pasalnya korupsi medukung penguasa. Pembangunan tetap jalan. Investasi asing dan para kapital tetap masuk. Dengan alasan gaji rendah, korupsi ikut mengerakan mesin birokrasi. Padahal, korupsi merayakan anarki aturan. Mereka tak lagi leluasa memanfaatkan sumber keuangan dengan cara yang koruptif. Satu per satu elit politik maupun kerabatnya terjerak tindak pidana korupsi. KPK yang masyarakat percayakan dan dipilih pun sebisanya bukan figur yang keras menerangi korupsi.

Faktor terpenting korupsi adalah moralitas dan intelektualitas pemimpin masyarakat. Di negara berkembang, ikatan tradisional masih kuat. Jadi, kita perlu dengan sengaja memunculkan keteladanan tokoh kharismatik dari yang masih hidup maupun wafat. Mereka memang tidak memengaruhi perubahan dari atas, tetapi jelas memang ini merupakan vitamin rohani yang memperkuat daya tahan tubuh bangsa dari serangan penyakit moral dan korupsi.

Agama pernah mencacat bahwa” cukupkanlah dirimu dan gayimu” (kutipan alkitab). Agama, seoalah capek mengurus manusia yang berintegritas. Berarti agama gagal mendidik dan menolong anak bangsa? Atau siapa salah? Politisi? Entalah? Jika seperti itu, agama hanya menjadi setia di mimbar (lalu diam) Bukankah? Agama cukup banyak menyampaikan, tentang hal baik dan benar. Ataukah kesadaran politisi? Yang sering merasa dan mengaku beragama (tapi tindakan seolah tidak beragama). Apa usaha agama tidak cukup? Tidaklah! Terus salah siapa? Saya! Kalau saya, hanya bisa mengingatkan lewat tulisan ini! “JANGAN KORUPSI”. Mari para politisi tetap menjaga kewarasan tanpa korup dalam mengabdi negara.

Oleh :
Maiton Gurik,S.Ikom

sumber : http://www.kompasiana.com/ufuk/menjinakan-korupsi-politisi-biasa-siapa-pelakunya