Laman

selamat datang

SELAMAT DATANG MAHASISWA BARU DI KOTA SURABAYA TAHUN 2018

Selasa, 28 November 2017

Masyarakat Papua Melawan Ketidakadilan

Oleh: Maiton Gurik
 DARI sekian banyak persoalan Papua, salah satunya adalah masyarakat melawan ketidakadilan, hukum yang cacat moral, kekerasan dan budaya ketidakadilan yang masih dipelihara oleh negara penjajah seperti warisan para Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun lamanya. Penjajah merupakan sumber utama dari ketidakadilan dan ketidak berdayaan masyarakat terjajah.
     Oleh sebab itu, masyarakat Papua melawan ketidakadilan terhadap negara sebagai mental penjajah. Bila menggunakan kelemahan sebagian moral negara dan kebijakan publik yang masih mewarisi mental penjajah. Agar mencari keuntungan dengan atas nama negara, mengambil sumber daya alam dengan kejam dan keji membuat hukum menjadi pasal karet, ketimpangan sosial membengkak, ekonomi kapitalis mengakar melahirkan konflik sosial dan menciptakan ketegangan terhadap kaum wong cilik, membuatnya duka dan luka ketimbang suka dan cita.
    Karenanya, semua organisasi, pagayuban, LMS, OKP, dan organisasi kemasyarakatan mencoba menggalang kebersamaan untuk melawan ketidak adilan terhadap negara secara sukarela dan revolusioner. Walau, negara mencoba membangun Papua sejak masa orba hingga reformasi. Dengan sejenis pendekatan Otsus, Up4p, dan Otsus Plus. Namun, tidak dapat membuahkan hasil yang diharapkan - kepemimpinan Jokowi sekalipun itu, hanyalah menjadi janji-janji manis dipanggung politiknya.
    Sudah sedemikian, sikap tidak tau malu pun tidak ada sama sekali terhadap negara tetangga, yang sudah pandangan dan wawasan nya jauh memikirkan tentang kehidupan mereka di luar angkasa, sementara negeri ini masih diadu domba dan saling sikat. Isu SARA masih dipelihara, budaya korup menjadi penyakit penguasa, praktek hukumnya menjadi pecundang dan kaku, yang salah dibenarkan dan sebaliknya yang benar disalahkan. Apa karena, penyakit jaman Belanda dengan politik divide et impera itu masih dipelihara? Bisa ia, bisa juga tidak. Tergantung kita melihatnya, sandiwara yang dimainkan oleh negara abuti (abunawas tinggi) ini.** Semoga!
Kuningan, 28 November 2017.


Minggu, 26 November 2017

Bebas Beradab "Membangun Budaya Politik Baru"

 
Oleh: Maiton Gurik 
PEMILUKADA atau sekarang istilah pilkada serentak adalah perwujudan partisipasi warga yang merupakan kelanjutan dari ide mengenai kebebasan politik. Walaupun yang terkahir ini (kebebasan) bukan perkara baru dalam kehidupan sistem demokrasi yang telah kita dianut sejak awal proklamasi kemerdekaan, ekspresi yang konkret dari kebebasan itu sendiri sebenarnya baru terasa masa pasca reformasi 1998. Sebelum masa itu orang biasanya menyebut kebebasan politik semu atau kebebasan terbatas, atau dalam ungkapan eufimisme; kebebasan yang bertanggung jawab, meskipun pada dasarnya dalam setiap kebebasan melekat tanggungjawab. Sebab, kebebasan tanpa disertai tanggungjawab bukanlah kebebasan, melainkan kesewenang-kewenangan.
Dalam pilkada serentak, kebebasan politik warga negara dijamin sepenuhnya. Dalam arti mereka berhak atas akses untuk mendapatkan kesempatan memilih atau dipilih (masalah adminitrasi), berhak protes manakalah hak suaranya tidak diakomodasi, dan berhak mengawasi proses pelaksanaannya sampai selesai. Pilkada ini menjadi eksperimentasi dari budaya politik baru dalam bentuk kebebasan yang beradab, sehingga proses pelaksanaannya sampai penentuan hasil akan berlangsung secara beradab pula.
Dalam konteks pilkada serentak yang lalu dan yang akan datang menjadi batu ujian apakah kita mampu mempraktikkan kebebasan yang beradab menjadi budaya politik baru. Jika mampu maka, ini akan menjadi sebuah “kamar” besar bagi demokrasi kita. Budaya politik baru dengan pondasi kebebasan yang beradab perlu terus-menerus didorong untuk mempercepat konsolidasi demokrasi. Selama ini agenda tersebut berjalan tersendat karena prosesnya hanya bergema di permukaan dan di menstimulasi pembentukan budaya politik baru. Indikatornya yang paling jelas pada proses-proses politik yang bersifat transaksional dan sarat kepentingan pragmatis. Politik kehilangan idealisme karena dikendalikan oleh para petualang yang hanya mencari jabatan, kekuasaan, uang dan sejenisnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, orang tidak segan-segan menghalalkan segala cara, memainkan trik adu domba, menyalip di tikungan dan sebagianya.
Bagian ini kita mesti waspada, karena apatisme politik bisa terwujud dalam partisipasi semu, yaitu ketika rakyat tetap memberikan hak suara semata-mata karena mereka merasa sebagai warga negara yang baik. Namun, partisipasi itu tidak disertai harapan akan terwujudnya perubahan, sebab rakyat telah memiliki pandangan bahwa janji-janji para politisi hanya "di bibir belaka". Yang lebih para lagi ialah ketika rakyat memberikan suaranya demi sosgokan atau money politic yang disebar oleh para politisi yang berambisi untuk meraih kekuasaan politiknya. Fenomenan semacam itu akan berdampak buruk dalam jangka panjang karena yang akan lahir adalah para pemimpin palsu, para pertualangan kekuasaan yang tidak memiliki visi apapun kecuali ingin berkuasa. Kepemimpinan yang jatuh pada orang yang bersalah merupakan ancaman terbesar bagi proses demokrasi. Jika ini terjadi maka dalam jangka panjang, masyarakat semakin terasingkan dari kehidupan politik yang sebenarnya bahkan mereka hanya menjadi alat politik belaka.
Sesungguhnya, dalam pilkada serentak yang digelar mulai bulan Desember 2015 lalu hingga kini dan akan datang, agar kita mendorong rakyat benar-benar menjadi penentu, bukan elit atau partai politik. Pemilihan langsung akan tanpak urgensinya manakala rakyat diperlakukan sebagai subyek dan bukan obyek politik. Dengan demkian rakyat akan menjadi kekuatan transformatif yang mempercepat proses transisi menuju konsolidasi demokrasi yang sesungguhnya. Logika ini masih bisa dilanjutkan; jika rakyat menjadi kekuatan penentu yang sesungguhnya dalam proses-proses politik, maka mereka akan terdorong untuk berpartisipasi aktif dan nyata dalam berbagai perumusan kebijakan publik yang akan berdampak pada kehidupan mereka secara langsung. Begitu juga sebaliknya, jika mereka hanya menjadi obyek politik, maka yang akan muncul adalah sikap fatalistik dan tidak peduli. Tidak ada yang lebih berbahaya dalam kehidupan berdemokrasi dari rakyat yang bersikap masa bodoh.
Momentum pilkada serentak adalah milik rakyat. Pilkada serentak ini memberi ruang sebesar-besarnya kepada rakyat untuk menjadi aktor politik. Aktor disini berarti subyek yang memiliki kebebasan untuk menilai sistem sebagai totalitas, bersikap kristis terhadap aspek-aspek kekuasaan, dan memiliki kesadaran penuh untuk berpartisipasi. Sudah barang tentu partisipasi yang dimaksud bukan hanya soal memberikan suara, tapi tentang bagaimana menyikapi hasil-hasilnya. Karena itu sejak awal rakyat harus terlibat secara aktif; memiliki pengetahuan tentang mekanisme pilkada, mengawal pelaksanaannya, menilai rekam jejak para kandidat, menjatuhkan pilihan secara independen, dan menerima hasil -hasilnya secara sportif. Itulah perwujudan kebebasan politik yang beradab.
Kita semua sudah lelah dengan kekisruhan dan konflik politik yang tidak berkesudahan yang mewarnai berbagai pelaksanaan pilkada selama ini. Dengan kesadaran bersama untuk membangun budaya politik baru, kita berharap pilkada serentak ini dapat mewujudkan harapan untuk terciptanya demokrasi yang lebih solid - demokrasi lahir dari kekuatan rakyat, yang mampu melahirkan para pemimpin berintegritas. Pilkada serentak 2018 adalah tempatnya untuk mencari pemimpin-pemimpin alternatif. Mari, warga negara yang baik adalah warga negara yang memilih pemimpin yang baik dan berintegritas.** Semoga!
Jakarta Selatan, 27 November 2017