Oleh: Maiton Gurik
PEMILUKADA atau sekarang istilah pilkada serentak adalah
perwujudan partisipasi warga yang merupakan kelanjutan dari ide mengenai
kebebasan politik. Walaupun yang terkahir ini (kebebasan) bukan perkara baru
dalam kehidupan sistem demokrasi yang telah kita dianut sejak awal proklamasi
kemerdekaan, ekspresi yang konkret dari kebebasan itu sendiri sebenarnya baru
terasa masa pasca reformasi 1998. Sebelum masa itu orang biasanya menyebut
kebebasan politik semu atau kebebasan terbatas, atau dalam ungkapan eufimisme;
kebebasan yang bertanggung jawab, meskipun pada dasarnya dalam setiap kebebasan
melekat tanggungjawab. Sebab, kebebasan tanpa disertai tanggungjawab bukanlah
kebebasan, melainkan kesewenang-kewenangan.
Dalam
pilkada serentak, kebebasan politik warga negara dijamin sepenuhnya. Dalam arti
mereka berhak atas akses untuk mendapatkan kesempatan memilih atau dipilih
(masalah adminitrasi), berhak protes manakalah hak suaranya tidak diakomodasi,
dan berhak mengawasi proses pelaksanaannya sampai selesai. Pilkada ini menjadi
eksperimentasi dari budaya politik baru dalam bentuk kebebasan yang beradab,
sehingga proses pelaksanaannya sampai penentuan hasil akan berlangsung secara
beradab pula.
Dalam
konteks pilkada serentak yang lalu dan yang akan datang menjadi batu ujian
apakah kita mampu mempraktikkan kebebasan yang beradab menjadi budaya politik
baru. Jika mampu maka, ini akan menjadi sebuah “kamar” besar bagi demokrasi
kita. Budaya politik baru dengan pondasi kebebasan yang beradab perlu
terus-menerus didorong untuk mempercepat konsolidasi demokrasi. Selama ini
agenda tersebut berjalan tersendat karena prosesnya hanya bergema di permukaan
dan di menstimulasi pembentukan budaya politik baru. Indikatornya yang paling
jelas pada proses-proses politik yang bersifat transaksional dan sarat
kepentingan pragmatis. Politik kehilangan idealisme karena dikendalikan oleh
para petualang yang hanya mencari jabatan, kekuasaan, uang dan sejenisnya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, orang tidak segan-segan menghalalkan segala cara,
memainkan trik adu domba, menyalip di tikungan dan sebagianya.
Bagian ini
kita mesti waspada, karena apatisme politik bisa terwujud dalam partisipasi
semu, yaitu ketika rakyat tetap memberikan hak suara semata-mata karena mereka
merasa sebagai warga negara yang baik. Namun, partisipasi itu tidak disertai
harapan akan terwujudnya perubahan, sebab rakyat telah memiliki pandangan bahwa
janji-janji para politisi hanya "di bibir belaka". Yang lebih para
lagi ialah ketika rakyat memberikan suaranya demi sosgokan atau money politic
yang disebar oleh para politisi yang berambisi untuk meraih kekuasaan
politiknya. Fenomenan semacam itu akan berdampak buruk dalam jangka panjang
karena yang akan lahir adalah para pemimpin palsu, para pertualangan kekuasaan
yang tidak memiliki visi apapun kecuali ingin berkuasa. Kepemimpinan yang jatuh
pada orang yang bersalah merupakan ancaman terbesar bagi proses demokrasi. Jika
ini terjadi maka dalam jangka panjang, masyarakat semakin terasingkan dari
kehidupan politik yang sebenarnya bahkan mereka hanya menjadi alat politik
belaka.
Sesungguhnya,
dalam pilkada serentak yang digelar mulai bulan Desember 2015 lalu hingga kini
dan akan datang, agar kita mendorong rakyat benar-benar menjadi penentu, bukan
elit atau partai politik. Pemilihan langsung akan tanpak urgensinya manakala
rakyat diperlakukan sebagai subyek dan bukan obyek politik. Dengan demkian
rakyat akan menjadi kekuatan transformatif yang mempercepat proses transisi
menuju konsolidasi demokrasi yang sesungguhnya. Logika ini masih bisa
dilanjutkan; jika rakyat menjadi kekuatan penentu yang sesungguhnya dalam
proses-proses politik, maka mereka akan terdorong untuk berpartisipasi aktif
dan nyata dalam berbagai perumusan kebijakan publik yang akan berdampak pada
kehidupan mereka secara langsung. Begitu juga sebaliknya, jika mereka hanya
menjadi obyek politik, maka yang akan muncul adalah sikap fatalistik dan tidak
peduli. Tidak ada yang lebih berbahaya dalam kehidupan berdemokrasi dari rakyat
yang bersikap masa bodoh.
Momentum
pilkada serentak adalah milik rakyat. Pilkada serentak ini memberi ruang
sebesar-besarnya kepada rakyat untuk menjadi aktor politik. Aktor disini
berarti subyek yang memiliki kebebasan untuk menilai sistem sebagai totalitas,
bersikap kristis terhadap aspek-aspek kekuasaan, dan memiliki kesadaran penuh
untuk berpartisipasi. Sudah barang tentu partisipasi yang dimaksud bukan hanya
soal memberikan suara, tapi tentang bagaimana menyikapi hasil-hasilnya. Karena
itu sejak awal rakyat harus terlibat secara aktif; memiliki pengetahuan tentang
mekanisme pilkada, mengawal pelaksanaannya, menilai rekam jejak para kandidat,
menjatuhkan pilihan secara independen, dan menerima hasil -hasilnya secara
sportif. Itulah perwujudan kebebasan politik yang beradab.
Kita semua
sudah lelah dengan kekisruhan dan konflik politik yang tidak berkesudahan yang
mewarnai berbagai pelaksanaan pilkada selama ini. Dengan kesadaran bersama
untuk membangun budaya politik baru, kita berharap pilkada serentak ini dapat
mewujudkan harapan untuk terciptanya demokrasi yang lebih solid - demokrasi
lahir dari kekuatan rakyat, yang mampu melahirkan para pemimpin berintegritas.
Pilkada serentak 2018 adalah tempatnya untuk mencari pemimpin-pemimpin
alternatif. Mari, warga negara yang baik adalah warga negara yang memilih
pemimpin yang baik dan berintegritas.** Semoga!
Jakarta
Selatan, 27 November 2017