Oleh: Maiton Gurik
DARI sekian banyak
persoalan Papua, salah satunya adalah masyarakat melawan ketidakadilan, hukum
yang cacat moral, kekerasan dan budaya ketidakadilan yang masih dipelihara oleh
negara penjajah seperti warisan para Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun
lamanya. Penjajah merupakan sumber utama dari ketidakadilan dan ketidak
berdayaan masyarakat terjajah.
Oleh sebab itu, masyarakat
Papua melawan ketidakadilan terhadap negara sebagai mental penjajah. Bila
menggunakan kelemahan sebagian moral negara dan kebijakan publik yang masih
mewarisi mental penjajah. Agar mencari keuntungan dengan atas nama negara, mengambil
sumber daya alam dengan kejam dan keji membuat hukum menjadi pasal karet,
ketimpangan sosial membengkak, ekonomi kapitalis mengakar melahirkan konflik
sosial dan menciptakan ketegangan terhadap kaum wong cilik, membuatnya duka dan
luka ketimbang suka dan cita.
Karenanya,
semua organisasi, pagayuban, LMS, OKP, dan organisasi kemasyarakatan mencoba
menggalang kebersamaan untuk melawan ketidak adilan terhadap negara secara
sukarela dan revolusioner. Walau, negara mencoba membangun Papua sejak masa
orba hingga reformasi. Dengan sejenis pendekatan Otsus, Up4p, dan Otsus Plus.
Namun, tidak dapat membuahkan hasil yang diharapkan - kepemimpinan Jokowi
sekalipun itu, hanyalah menjadi janji-janji manis dipanggung politiknya.
Sudah
sedemikian, sikap tidak tau malu pun tidak ada sama sekali terhadap negara
tetangga, yang sudah pandangan dan wawasan nya jauh memikirkan tentang
kehidupan mereka di luar angkasa, sementara negeri ini masih diadu domba dan
saling sikat. Isu SARA masih dipelihara, budaya korup menjadi penyakit
penguasa, praktek hukumnya menjadi pecundang dan kaku, yang salah dibenarkan
dan sebaliknya yang benar disalahkan. Apa karena, penyakit jaman Belanda dengan
politik divide et impera itu masih dipelihara? Bisa ia, bisa juga tidak.
Tergantung kita melihatnya, sandiwara yang dimainkan oleh negara abuti
(abunawas tinggi) ini.** Semoga!
Kuningan,
28 November 2017.