Para
politisi itu pandai berkata-kata, mereka mengambarkan situasi negara itu
seperti ini dan itu, bahkan kadang mereka harus mencucurkan air mata di mimbar
politik tentang sejumlah persoalan sosial dan ekonomi yang melilit rakyat.
Namun, akhirnya tidak sedikitpun juga mereka yang harus mengenakan rompi oranye
bertulisan “ Tahanan KPK” karena persoalan akhlak dan moralitas. Juba republik
ini memang terus dirobek-robek oleh para anak bangsa ini sendiri, yang sedang
berkuasa.
Para
penegak hukumpun lemah moral dan harga dirinya, dan tidak puas akan kehidupan
ekonominya, dengan muda masuk dalam perangkap mafia. Mereka menjadi kaki tangan
bos mafia demi sejumlah imbalan ekonomi. Sebagai balasannya, mereka sangat
loyal dan patuh. Mereka dapat melakukan apa saja untuk kepetingan bos mafia,
termasuk berbohong kepada publik, menutupi-nutupi kejahatan, memutarbalikan logika
hukum dan moralitas, bahkan membocorkan rahasia negara. Hal yang sama, pinjam
dari kutipan Yongky Karman dalam buku Republik Galau, bahwa “korupsi memihak
yang bayar, bukan yang benar, bukan yang sesuai prosedur”.
Kualitas
para aktivis partai politik ternoda dengan kelakukan busuk mereka yang korup.
Partai politik telah gagal mempersiapkan kader yang bermoral dan berintegritas.
Pinjam dari kata Max Weber memberikan istilah politic as vocation (politik
sebagai pekerjaan). Istilah ini sangat tepat digunakan untuk memotret para
politisi yang menjadikan dunia politik sebagai arena bisnis semata untuk
kepentingan mereka dan masa depan. Tidak tahu harga diri jika dia sebagai wakil
rakyat yang mengurus nasib rakyat. Korup ditangkap malah tertawa, di wawancarai
dan ditanya (gaya seperti orang biasa) sekalipun memakai pakain rupublik rompi
oranye. Ini penyakit politisi busuk.
Korupsi
seperti binatang liar yang memangsa orang jujur dalam suatu sistem korup.
Pelakunya tidak hanya pegawai kecil yang terimpit kebutuhan, tetapi juga mereka
yang serakah. Korupsi tak peduli jika bangsa masih tersandera kemiskinan. Ia
menggerogoti kemampuan negara melindungi dan mensejahtrakan rakyat. Kasus
tenaga kerja Indonesia yang selama puluhan tahun tanpa jaminan perlindungan
terstruktur merupakan buah sistem pemerintahan yang korup. Rakyat kecil korban
terparah dan terancam.
Pemberantasan
korupsi di Indonesia seperti jinak-jinak merpati. Hukuman koruptor biasa saja.
Mereka diperlakukan terhormat, tak mengenankan baju tahanan, memperoleh banyak
kemudahan di penjara. Perang melawan korupsi sebagian besar hanya politik
pecintraan penguasa dari realitas politik Indonesia baru. Betapa jalannya
institusi penegakan hukum memasang iklan di surat kabar untuk meyakinkan publik
bahwa reformasi birokrasi terjadi dilingkungannya.
Penguasa
dan elit politik ambigu untuk memerangi korupsi habis-habisan. Pasalnya korupsi
medukung penguasa. Pembangunan tetap jalan. Investasi asing dan para kapital
tetap masuk. Dengan alasan gaji rendah, korupsi ikut mengerakan mesin birokrasi.
Padahal, korupsi merayakan anarki aturan. Mereka tak lagi leluasa memanfaatkan
sumber keuangan dengan cara yang koruptif. Satu per satu elit politik maupun
kerabatnya terjerak tindak pidana korupsi. KPK yang masyarakat percayakan dan
dipilih pun sebisanya bukan figur yang keras menerangi korupsi.
Faktor
terpenting korupsi adalah moralitas dan intelektualitas pemimpin masyarakat. Di
negara berkembang, ikatan tradisional masih kuat. Jadi, kita perlu dengan
sengaja memunculkan keteladanan tokoh kharismatik dari yang masih hidup maupun
wafat. Mereka memang tidak memengaruhi perubahan dari atas, tetapi jelas memang
ini merupakan vitamin rohani yang memperkuat daya tahan tubuh bangsa dari
serangan penyakit moral dan korupsi.
Agama
pernah mencacat bahwa” cukupkanlah dirimu dan gayimu” (kutipan alkitab). Agama,
seoalah capek mengurus manusia yang berintegritas. Berarti agama gagal mendidik
dan menolong anak bangsa? Atau siapa salah? Politisi? Entalah? Jika seperti
itu, agama hanya menjadi setia di mimbar (lalu diam) Bukankah? Agama cukup
banyak menyampaikan, tentang hal baik dan benar. Ataukah kesadaran politisi?
Yang sering merasa dan mengaku beragama (tapi tindakan seolah tidak beragama).
Apa usaha agama tidak cukup? Tidaklah! Terus salah siapa? Saya! Kalau saya,
hanya bisa mengingatkan lewat tulisan ini! “JANGAN KORUPSI”. Mari para politisi
tetap menjaga kewarasan tanpa korup dalam mengabdi negara.
Oleh :
Maiton Gurik,S.Ikom
sumber : http://www.kompasiana.com/ufuk/menjinakan-korupsi-politisi-biasa-siapa-pelakunya